Ucapan selamat atas kehamilan Kokom segera mengalir dari teman-teman Juha. Di antaranya dari Hendro, Wi, Tia, Yan, Mur, Gus Dar, pun demikian dari Franky yang lama tak ketemu.
Selamat. Ah…elok nian ucapan itu. Bagi Juha, selamat adalah salah satu ungkapan terindah yang dipakai manusia Indonesia dalam berbahasa. Ia menjadi simbol kebaikan manusia atas manusia lainnya.
Juha merasai betul soal itu. Betapa hatinya bergetar tatkala teman-temannya itu menjabat tangannya erat-erat sambil berucap, “selamat”. Juha menangkap ketulusan hati dan juga doa di dalamnya. Ya, sekali lagi doa. Doa selamat.
Ah, jika saja semua manusia Indonesia dan juga manusia di atas bumi senantiasa bertukar doa selamat tiap harinya, niscaya sejahteralah semesta yang kita huni. Sebab, di dalam doa selamat itu, terkandung pula pengakuan eksistensi serta penghargaan atas manusia satu terhadap manusia lainnya.
Coba kita bayangkan, andai semua manusia yang berbeda keyakinan, berbeda suku, berbeda golongan, saling bertukar doa selamat, wah…tentu bumi akan menjadi tempat yang indah, aman, damai dan sejahtera, kendati tanpa spanduk yang dipajang di sudut-sudut jalan dengan tulisan “Damai itu Indah”.
Seperti itulah kini perasaan Juha setelah teman-temannya memberi doa selamat atas kehamilan Kokom, istrinya. Juha merasa, teman-temannya itu bukan saja mendoakan dirinya dan Kokom serta janin di rahim Kokom agar senantiasa selamat, tapi juga merasa dirinya diakui sebagai lelaki yang mampu membenihi istrinya. Paling tidak, seperti si Dul itulah yang baru saja beroleh bayi yang baru lahir dari rahim isterinya, Siska.
Selamat, menurut kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh Amran Y.S. Chaniago, artinya terpelihara dari bahaya atau bencana, sejahtera tak kurang suatu apa pun; sehat walafiat. Selamat berarasal dari kata salam (bahasa Arab). Tapi ini kali Juha tak hendak memperbincangkan etimologis kata yang menggetarkan kalbunya itu: selamat! Yang penting bagi Juha, adalah pada doa dari orang yang memberi selamat.
Gus Dar misalnya, sebagai orang Jawa dia cukup bilang, “Slamet!”. Yan yang asli Sumatera Utara itu bisa berucap, “Horas!” (Tapanuli), Menjuah-juah (Karo), atau Yakobu (Nias). Tia yang bahasa Inggrisnya sudah cas-cis-cus bisa bilang, “congratulation”.
Ah…, kawan-kawan yang manis, kawan-kawan yang senantiasa membuat Juha merasa bisa memetik manfaat sekaligus bermanfaat sebagai manusia. Memberi dan menerima. Seperti berbalas pantun itulah sebuah perkawanan. Seperti sebuah komposisi musik itulah persahabatan; di dalamnya ada nada, irama, dinamika dan juga warna. Seperti sebuah lukisan, di dalamnya ada garis, warna dan komposisi.
Seperti perkawanan Juha dengan Gus Dar yang baik hati itu. Keduanya pernah bersama-sama merasai kesenangan hidup ketika mengarungi malam-malam kota Jakarta, tapi di lain waktu keduanya juga pernah berdebat sengit ketika sedang mengurus seorang penyanyi rock yang minta dimanajeri oleh keduanya.
Pun perkawanan Juha dengan Franky yang pemaaf itu. Pernah keduanya sekantor dalam situasi yang menyenangkan. Tapi di lain saat, Juha juga merasa turut terhina ketika Franky diperlakukan tak adil oleh orang-orang di kantor barunya.
Juga perkawanan Juha dengan Hendro yang perkasa, Yan yang wajahnya kini berseri-seri lantaran rajin renang, Tia yang tetap awet muda, Wi yang baru saja me-rebonding rambutnya, atau Mur yang gemar makan sea food. Interaksi Juha dengan kawan-kawannya itu adalah simponi yang menentramkan hatinya.
Kawan, barangkali adalah kesimpulan dari proses pemahaman tentang ajaran etika filosofis Tat Twam Asi yang berarti “dia adalah engkau juga”. Menghargai orang lain adalah menghargai diri sendiri juga. Juha yakin, kasih sayang kawan-kawan terhadap dirinya juga sebesar kasih sayang dirinya kepada teman-temannya itu. Melewati ruang dan waktu. Atau dalam bahasa WS Rendra, kasih sayang dirinya pada kawan-kawan atau sebaliknya, meruang dan mewaktu.
* * *
Kokom pun berbahagia pada malam yang baru diguyur hujan, tatkala Juha menyampaikan ucapan selamat kawan-kawannya itu kepadanya. Sambil memandangi perutnya lewat cermin di kamar tidur, ia bertanya perihal kawan-kawan suaminya.
“Gus Dar…, apa kabarnya dia Bang?”
“Baik.”
“Jadi bikin majalah baru, dia?”
“Begitulah kabar yang aku dengar.”
“Kok kagak pernah diajak kemari lagi?”
“Dia lagi ambil S3.”
“S3 apaan? Ambil gelar doktor gitu? Hebat!”
“Setiap Sabtu Setor (S3). Dia mesti pulang ke Bandung tiap Sabtu. Bininya masih di sana.”
"Abang bisa aja. Kalau Mas Franky, tambah hebat dia ya Bang?”
“Iyalah. Orang Jawa bilang, dia itu sudah semeleh, mapan jasmani dan rohaninya. Kendati kerja di koran paling terkenal di negeri ini, dia tetap Franky yang kita kenal. Baik hati dan tidak sombong.”
“Kalau si Hendro, bisnis apa sekarang?"
“Sekarang sedang asyik bisnis ruti.”
“Kreatif ya dia? Pinter nyari duit.”
“Kalo Mba Ati apa kesibukannya?”
“Selain jualan nasi uduk, dia sekarang membuka kembali usaha aksesoris yang sempat fakum beberapa waktu."
Sambil terus memandangi perutnya yang belum buncit dari cermin, Kokom terus bertanya perihal teman-teman Juha sau demi satu. Termasuk Yan. Juha bilang, Yan masih konsisten tak ingin mancing di baskom untuk mendapatkan ikan (baca:pacar). Kata Yan, alangkah gampangnya mencari pacar di kantor sendiri yang ia analogikan sebagai baskom.
“Lelaki sejati hanya mencari ikan di laut lepas,” kata Yan yang hingga kini masih bersemangat mancing "ikan elok" di laut Surya Citra.
“Emangnya ada laut bernama Surya Citra?” Kokom bertanya.
“Ada. Nggak jauh letaknya dari kantor Abang. Batu karangnya besar-besar, gelombangnya juga gede. Karenanya Yan rada kerepotan mendapatkan ikan.”
“Ihik, Abang tipu. Mana ada laut Surya Citra.”
“Namanya juga bahasa isyarat.”
Malam semakin larut. Suami istri yang sedang dilanda kebahagiaan itu masih berbincang-bincang di atas ranjang. Sepasang cicak yang sedang kasmaran berkejaran di langit-langit kamar. Juha tersenyum dibuatnya.
“Ih abang senyum sendiri,” suara Kokom mengagetkan Juha.
“Kau lihat itu Kom, seperti itulah dulu Abang waktu mengejarmu,” ujar Juha sambil menunjuk sepasang cicak yang sedang bergelora birahinya.
“Abang boleh tahu, apa yang menyebabkan Kokom suka sama Abang?”
“Sebab Abang baik.”
“Cuma itu?”
“Abang sopan sama orang tua aye.”
“Trus?”
“Abang juga nekat.”
“Kalau nggak nekat, kamu pasti diambil sama anaknya Mandor Bakri.”
Tik tak jarum jam membawa malam kian tinggi. Setelah menyelesaikan pergulatannya, sepasang cicak di langit-langit kamar pergi entah ke mana. Pelan-pelan tangan Juha menyentuh tangan Kokom. Lalu katanya, “Malam ini Abang boleh nekat nggak, Kom?”
Kokom tahu, untuk urusan yang satu itu, suaminya bisa menjadi lelaki nekat dalam arti yang sesungguhnya. Karenanya, ia cuma senyum sambil memberi isyarat kepada Juha agar mematikan lampu kamar.
0 komentar:
Posting Komentar